Cerita 9 Wali : SUNAN BONANG (Putra Sunan Ampel)
"Salam Tokek"
Sejarah Sunan Bonang
Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum
Ibrahim. Putera Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng
Manila.
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah puteri Prabu Kertabumi. Dengan
demikian Raden Makdum adalah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah
puteri Raja Majapahit dan ayahnya menantu Raja Majapahit.
Sebagai seorang wali yang
disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se tanah jawa, tentu saja Sunan
Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil Raden Makdum Ibrahim sudah
diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.
Sudah bukan rahasia bahwa
latihan atau riadha para wali itu lebih berat daripada orang awam. Raden Makdum
Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga
mempersiapkan sebaik mungkin.
Disebutkan dari berbagai
literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja
meneruskan pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu negeri Pasai. Keduanya
menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan
Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai.
Seperti ulama tasawuf yang berasal dari bagdad, Mesin, Arab dan Parsi atau
Iran.
Sesudah belajar di negeri
Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke jawa. Raden paku kembali ke
Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
Raden Makdum Ibrahim
diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan
daerah Sempadan Surabaya.
Bijaksana Dalam Berdakwah
Dalam berdakwah Raden
Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati
mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah
sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul
dengan kayu lunak timbulah suara yang merdu di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih bila Raden
Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai
cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat
hebat bagi pendengarnya.
Setiap Raden Makdum
Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarnya.
Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus
melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden
Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut
simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.
Tembang-tembang
yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran
agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam
dengan senang hati, bukan dengan paksaan.
Murid-murid Raden Makdum
Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara,
Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam
berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.
Karya Sunan Bonang
Beliau juga menciptakan
karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu
dianggap sebagai karya sastra yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna
kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di perpustakaan Universitas
Leiden, Belanda.
Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan
(tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya
disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan
secara biasa dalam bentuk prosa disebut wirid.
Memiliki dua Kuburan
Sunan Bonang sering
berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat
berdakwah di Pulau Bawean.
Berita segera disebarkan
ke seluruh tanah jawa. Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka
cita dan memberikan penghormatan yang terakhir.
Murid-murid yang berada
di Pulau Bawean hendak memakamkan beliau di Pulau Bawean. Tetapi murid yang
berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenasah beliau dimakamkan di
dekat ayahnya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus
jenasah mereka pun tak mau kalah. Jenasah yang sudah dibungkus dengan kain
kafan milik orang bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.
Pada malam harinya,
orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk
orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenasah Sunan Bonang kedalam
kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa kain kafan
jenasah tertinggal satu.
Kapal layar segera
bergerak ke arah Surabaya, tetapi ketika berada diperairan Tuban tiba-tiba
kapal yang dipergunakan tidak bisa bergerak akhirnya jenasah Sunan Bonang
dimakamkan di Tuban yaitu sebelah barat Mesjid Jami’ Tuban.
Sementara kain kafannya
yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenasahnya. Orang-orang Bawean pun
menguburkannya dengan penuh khidmat.
Dengan demikian ada dua
jenasah Sunan Bonang, inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada
beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan diantara murid-muridnya.
Sunan Bonang wafat pada
tahun 1525 M. Makam yang dianggap asli adalah yang berada dikota Tuban sehingga
sampai sekarang makam itu banyak yang diziarahi orang dari segala penjuru
tanah air.