Cerita 9 Wali : Sunan Kalijaga



Kisah masing walisongo penuh dengan keunikan yang tak masuk akal, Mengenang awal masuknya Islam di Indonesia yang penuh dengan cerita cerita yang menarik, Anggota walisongo merupakan orang-orang pilihan dan oleh karena itu oleh orang jawa dinamakan wali. Istilah wali berasal dari bahasa arab aulia, yang artinya orang yang dekat dengan Allah SWT karena ketakwaannya. Sedangkan istilah songo merujuk kepada penyebaran agama Islam ke segala daerah ada yang dari Cirebon, Jawa Timur, Gresik, dll. berikut saya ringkas cerita dari salah satu sunan yang paling populer yaitu SUNAN KALIJAGA, kalo ingin lihat kisah dari SUNAN KALIJAGA anda tinggal lihat aja di Transtv (9Wali) yang di perankan oleh Donny Alamsyah dan cerita ini ditayangkan kembali pada 10 Juli jam 04.40 tadi pagi, kalo gak nonton yaudah baca aja kisah singkatnya berikut.
"Salam Tokek"


Sejarah Sunan Kali Jaga



Sunan Kalijaga alias Raden Said. Putera Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilakita.
walau dia termasuk keturunan Ranggawale yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.

Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak.

Gelora jiwa muda Raden Said Bergejolak pada saat melihat praktek oknum pejabat kadipaten Tuban disaat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. 

Walau Raden Said putera seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan bebas, yang tidak terikat adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas berniat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niatnya itu tidak pernah padam. 

Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.

Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu karena   Raden Said melakukannya dimalam hari secara sembunyi-sembunyi.

Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit karena makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu semakin berkurang.

Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah tak jauh dari gudang kadipaten.

Dugaannya benar, ada seseorang yang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip  penjaga gudang itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya pencuri itu adalah Raden Said putera junjungannya sendiri.

Untuk melaporkannya sendiri kepada adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.

Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar adari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan tiga orang prajurit kadipaten menangkapnya, beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan ayahnya.

Adipati Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu. Raden Said tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan  ke Majapahit.

Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya maka ia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah. 

Sesudah keluar dari hukuman dia benar-beanr keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya.

Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di kabupaten tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat yang curang.

Harta hasil rampokan itu diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. 

Pada suatu malam Raden Said baru saja menyelesaikan sholat isya mendengar jerit tangis para penduduk desa kampunya sedang djarah perampok.

Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asik memperkosa seorang gadis cantik.

Raden Said mendobrak pintu rumah sigadis yang sedang diperkosa. Didalam sebuah kamar dia melihat seorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembaili. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis tersebut.

Raden Said berusaha menangkap perampok itu namun pemimpin perampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdenganr suara kentongan dipukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said jadi panik dan kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.

Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepada desa menjadi terbungkam. Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putera junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu, Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti dan saksi hidup atas kejadian itu.

Sang kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana kadipaten tuban tanpa sepengetahuan orang.

Tentu saja sang adipati jadi murka. Raden Said di usir dari wilayah kadipaten tuban.

Pergi dari kadipaten tuban ini! Kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri, pergi! Jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana kadipaten tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang sering kau baca di malam hari.

Sang adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu, sirna sudah segala harapan sang adipati.

Hanya ada satu orang yang dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said itu berjiwa luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana kadipaten tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.

Menemukan Guru

Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari kadipaten tuban, ternyata ia mengembara tanpa
tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap dihutan Jatiwangi.  Selama bertahun-tahun ia
menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil 
rampokkannya itu tak pernah dimakannya. Seperti dahulu, selalu diberikan kepada fakir 
miskin.

Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya kikir, tidak menyantuni rakyat 
jelata. Dan tidak mau membayar zakat.

Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya dengan Brandal 
Lokajaya.

Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal 
lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa tongkat yang gagangnya berkilauan.

Terus diawasinya orang tua berjubang putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya.
Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena
tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.

Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada 
suara tangis dari mulutnya.  Raden Said pada saat itu sedang mengamati gagang tongkat 
yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja 
terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden 
Said heran melihat orang tua itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu. 
Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.

Bukan tongkat ini yang kutangisi ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang 
rumput ditangannya. Lihatlah ! aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini 
tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi.

Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa? Tanya Raden Said heran.

Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa sesuatu keperluan. Andaikata 
kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk sesuatu kesia-siaan benar-
benar suatu dosa jawab lelaki itu.

Hari Raden Said bergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.

Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari dihutan ini?

Saya menginginkan harta?

Untuk apa?

Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita,.. hem…sungguh mulia 
hatimu, sayang…caramu mendapatkannya yang keliru.

Orang tua….apa maksudmu?

Boleh aku bertanya anak muda? Desah orang tua itu. Jika kau mencuci pakaianmu yang 
kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?

Sungguh perbuatan bodoh sahut Raden Said. Hanya menambah kotor dan bau pakaian saja.

Lelaki itu tersenyum, demikianlah amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang 
yang didapat secara haram atau mencuri itu sama halnya dengan mencuci pakaian dengan 
air kencing.

Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya. Allah itu adalah zat yang baik, 
hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal.

Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam 
lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini. Dipandangnya sekali lagi wajah
lelaki 
tua itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai 
suka dan tertarik dengan lelaki tua berjubah putih tersebut.

Banyak hal yang terkait dengan usaha mengentaskan kemiskinan dan penderitaan rakyat 
pada saat ini.  Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuan makan dan 
uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan pada penguasa yang zalim 
agar mau mengubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat 
membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya.

Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini. Kalau 
kau tak mau kerja keras dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah 
itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!

Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika itu pohon 
berubah menjadi EMAS. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda 
sakti dan banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh 
telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir. Kalau benar orang
itu 
mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.

Tapi setelah mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti 
orang tua itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa heran dan penasaran, ilmu 
apakah yang telah dipergunakan orang tua itu sehingga mampu merubah pohon menjadi 
emas.

Raden Said terdiam beberapa saat ditempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren 
itu. Benar-benar berubah jadi emas seluruhnya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah 
berubah menjadi emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan
mengenai 
kepala Raden Said. Pemuda itu jatuh terjerembab ke tanah roboh dan pingsan.

Ketika sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah menjadi hijau seperti aren-aren yang 
lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang tua berjubah putih tadi. Tapi yang dicari 
nya sudah tidak ada ditempat.

Ucapan orang tua tadi masih terngiang ditelinganya. Tentang beramal dengan barang 
haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang berbagai hal 
yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.

Raden Said mengejar oarang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat 
akhirnya dia dapat melihat bayangan orang tua itu dari kejauhan.

Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya tapi Raden Said tak pernah bisa 
menyusulnya. Jatuh bangun terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah setelah tenaganya 
habis terkuras dia baru bisa sampai dibelakang lelaki berjubah putih itu.

Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan 
didepannya terbentang sungai cukup lebar. Tak ada jembatan dan sungai itu tampaknya 
sangat dalam dengan apa dia harus menyeberang.

Tunggu……, ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya 
lagi.

Sudilah kiranya tuan menerima saya sebagai murid…..pintanya.

Menjadi muridku? Tanya orang tua itu sembari menoleh. Mau belajar apa?

Apa saja, asal tuan manerima saya sebagai murid….

Berat, berat sekali anak muda, bersediakah engkau menerima syarat-syaratnya?

Saya bersedia….

Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya ditepi sungai. Raden Said diperintah
menunggui tongkat itu. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum orang tua itu kembali
menemuinya.

Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.

Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, 
lelaki itu berjalan diatas air bagaikan berjalan di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena 
air, ia semakin yakin calon gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan 
mungkin saja golongan para wali.

Setelah lelaki tuan itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda ini duduk bersila dia 
teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya didalam Al-Qur’an yaitu kisah Ashabul Kahfi, 
maka ia segera berdoa kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa kahfi 
ratusan tahun yang silam.

Doanya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam semedinya selama tiga tahun. Akar dan
rerumputan telah merambati tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota
tubuhnya.

Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said
tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan adzan pemuda itu membuka
sepasang matanya.

Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke tuban
mengapa dibawa ke tuban? Karena lelaki berjubah putih itu adalah sunan Bonang. Raden
Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatannya yaitu tingkat para
waliyullah. Dikemudian hari Raden Said terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.

Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai, karena dia pernah bertapa ditepi sungai. Ada
yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa
itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan umat, melainkan diarahkan kepada
ajaran Islam yang benar.

Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya 
sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat atau 
pegangan hidup., itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa iman 
sebagai petunjuk jalan kehidupan.

Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu artinya
Raden Said diperintah untuk terjun kedalam kancah masyarakat jawa yang banyak 
mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan 
Budha.

Sunan Bonang mampu berjalan diatas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai. Bahkan 
tidak terkena  percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan 
masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan 
Bonang sendiri yaitu Islam.

Kerinduan Ibunda Kali Jaga

Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti 
kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usah adipati tuban menangkap para perampok 
yang mengacau kadipaten tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika 
terguncang.

Kebetulan saat ditangkap oleh prajurit tuban, kepala perampok  itu mengenakan pakaian 
dan topeng yang persis dengan yang dikenakan oleh Raden Said. Rahasia yang selama ini 
tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah adipati tuban 
bahwa Raden Said tidak bersalah.

Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak 
yang sangat disayanginya itu, sang ibu tak pernah tau bahwa anak yang didambakannya 
itu 
bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke tuban. Hanya saja tidak langsung ke istana 
kadipaten tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.

Untuk mengobati kerinduan sang ibu, tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang 
tinggi. Yaitu membaca Qur’an jarak jauh lau suaranya dikirim ke istana tuban.

Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding istana kadipaten. 
Bahkan mengguncangkan  isi hati adipati tuban dan isternya. Tapi Raden Said, masih belum 
menampakkan dirinya. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan 
adiknya kembali. Pada akhinya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak 
terkirakan betapa bahagianya adipati tuban dan isterinya menerima kedatangan putera-
puterinya yang sangat dicintainya itu.

Karena Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya akhirnya kedudukan 
adipati tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putera Dewi Rasawulan dan Empu 
Supa.

Raden Said meneruskan pengembaraannya, berdakwah atau menyebarkan agama Islam di 
jawa tengah hingga ke jawa barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah 
sehingga dapat ditermia dan dianggap sebagai guru suci se tanah jawa. Dalam usia lanjut 
beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau 
dimakamkan di Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangan nya diterima di sisi Allah.

Archive

Contact Form

Send